Mengenal Jemaah An-Nadzir Gowa: Sejarah, Ajaran, hingga Cara Berpakaiannya

Mengenal Jemaah An-Nadzir Gowa: Sejarah, Ajaran, hingga Cara Berpakaiannya

Daengmedia.comGowa, An-Nadzir merupakan salah satu aliran ajaran Islam yang cukup menarik perhatian di awal kemunculannya. Hal ini lantaran baik tata cara salat hingga penetapan bulan suci Ramadan yang berbeda dari organisasi Islam yang ada di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah.

Di awal kemunculannya, An-Nadzir bahkan sempat dituding sebagai aliran sesat. Bahkan karena penampilannya yang selalu menggunakan sorban serta rambut sebahu berwarna pirang membuat jemaahnya kerap dianggap sebagai kelompok teroris.

Namun, seiring waktu aliran ini membuktikan bahwa ajaran yang yakini merujuk pada Al-Qur’an dan Hadist sebagaimana dasar ajaran Islam. Hanya saja pemaknaannya yang berbeda.

Jemaah An-Nadzir tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, jemaah yang ada di Sulawesi Selatan membangun perkampungan di Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa. Saat ini, perkampungan tersebut dikenal sebagai pusat kelompok An-Nadzir.

Sejarah An-Nadzir

Aliran An-Nadzir ini dibawa oleh seorang ulama bernama KH Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syekh Imam Muhammad Al-Mahdi Abdullah.

“An-Nadzir ini kan diawali dengan kedatangan seorang sosok ulama yang kami panggil dengan Abah yang dikenal dengan KH Syamsuri Abdul Majid yang bergelar Syekh Imam Muhammad Al-Mahdi Abdullah, beliau memberikan suatu pengajaran,” ujar Pimpinan An-Nadzir Gowa, Ustaz Samiruddin, Kamis (30/3/2023).

Samiruddin bercerita, pada masa itu, KH Syamsuri Abdul Majid yang sudah berdakwah ke berbagai penjuru daerah di Indonesia dianggap memiliki ajaran yang luar biasa. Oleh karena itu, dia bersama beberapa orang lainnya berinisiatif untuk membawa ajaran tersebut ke Sulsel.

“Tahun 1997, kami sendiri di Jakarta baru ketemu. Sekitar satu tahun itu, beberapa teman, kami mengikuti tausiyah beliau, dari situlah kami menganggap bahwa ini luar biasa ini orang tua ini kalau begini-begini saja, kan kita-kita saja,” jelas Samiruddin.

Pada tahun 1998, Samiruddin bersama rekan-rekannya pun membawa ajaran tersebut ke Sulawesi Selatan. Mereka melakukan safari dakwah dengan berkeliling ke sejumlah daerah di Sulawesi Selatan.

“Makanya kami mengambil inisiatif tahun 1998 kami bawa ke Sulsel ini, melakukan semacam safari dakwah, keliling di beberapa kota,” ungkapnya.

Setelah melakukan safari dakwah, pengikut aliran ini semakin bertambah hingga ribuan orang. Pada tahun 2002, dibuatlah suatu wadah untuk mengumpulkan para jemaah.

Namun, awalnya bukan bernama An-Nadzir, melainkan Majelis Jundullah. Namun, dikarenakan ada pihak yang protes, kelompok ini pun berubah nama menjadi An-Nadzir pada awal tahun 2002.

Ajaran Jemaah An-Nadzir
Jemaah An-Nadzir mambawa sejumlah ajaran yang cukup berbeda dengan ajaran umat muslim pada umumnya di Indonesia. Perbedaan inilah yang membuat An-Nadzir kerap mendapat sorotan. Adapun beberapa ajaran jemaah An-Nadzir yang cukup berbeda, yaitu:

1. Gerakan Salat
Dalam hal pelaksanaan salat, jemaah An-Nadzir memiliki gerakan yang berbeda. Jika umat muslim pada umumnya bersedekap setelah takbir, jemaah An-Nadzir hanya meluruskan tangannya ke bawah.

Namun, untuk gerakan lainnya sama seperti salat pada umumnya.

2. Penentuan Waktu Salat
Selain gerakan salat, penentuan waktu salat wajib juga berbeda. Untuk menentukan waktu salat, An-Nadzir berpedoman pada kondisi alam. Mereka tidak menggunakan jam sebagai patokan, melainkan hanya menggunakannya sebagai alat bantu.

Jemaah An-Nadzir menetukan waktu imsak hingga salat subuh dengan berpedoman pada terbitnya fajar kazib dan fajar sidik. Jika di ufuk timur sudah tampak garis putih, maka itu artinya sudah masuk waktu subuh.

Sementara itu, untuk pelaksanaan salat duhur dan asar, jemaah An-Nadzir cenderung melaksanakannya secara berdempetan. Mereka menggunakan sebuah alat khusus untuk menghitung jumlah bayangan, yang mana ukuran satu bayangan menunjukkan waktu dimulainya salat zuhur, sementara dua bayangan menunjukkan waktu salat asar.

Sedangkan, untuk waktu pelaksanaan salat magrib, jemaah An-Nadzir berpatokan pada waktu terbenamnya matahari. Mereka akan melaksanakan salat magrib ketika fajar sudah tenggelam dengan patokan warna langit di ufuk barat sudah berwarna merah.

Sementara itu, dalam hal pelaksanaan salat isya, jemaah An-Nadzir terbiasa mengakhirkannya seperti salat duhur. Mereka biasanya melaksanakan salat isya pada dini hari.

3. Lafadz Adzan Jemaah An-Nadzir
Jemaah An-Nadzir juga menggunakan lafadz yang sedikit berbeda ketika mengumandangkan adzan. Jemaah An-Nadzir tidak menambahkan lafadz ‘asshalatu khairum minannaum’ saat adzan subuh.

Dalam lafadz adzannya, An-Nadzir menambahkan ‘hayya ala khairil amal’ yang artinya ‘mari kita berbuat kebaikan’. Lafadz adzan yang demikian dipakai An-Nadzir tidak hanya dalam salat subuh, melainkan juga dalam adzan pada waktu salat lainnya.

4. Penetapan Ramadan dan Awal Bulan Hijriyah
Sebagaimana dengan waktu salat, jemaah An-Nadzir juga memiliki cara tersendiri dalam menentukan awal Ramadan dan bulan Hijriyah lainnya. Jemaah An-Nadzir menetapkan awal bulan baru mengacu pada perhitungan bulan purnama. Mereka melakukan pengamatan pada bulan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 14, 15, dan 15, serta pada tanggal 27,28,29.

Selain itu, pemantau bulan baru juga dilakukan dengan menggunakan kain tipis hitam untuk melihat jumlah bayangan bulan. Jumlah bayangan bulan yang terlihat menentukan jumlah hari tersisih sebelum memasuki bulan baru.

Kemudian, jemaah An-Nadzir juga melakukan pengamatan dari waktu terbit serta terbenamnya bulan dan matahari, berbagai fenomena alam, termasuk juga kondisi pasang puncak tertinggi air laut.

Mereka menggunakan berbagai pengamatan tersebut, kemudian berkoordinasi dengan jemaah An-Nadzir di seluruh Indonesia. Mereka kemudian menetapkan waktu masuknya bulan baru berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan.

Cara Berpakaian Jemaah An-Nadzir
Jemaah pria An-Nadzir identik dengan penampilannya yang kerap mengenakan pakaian berwarna gelap, menggunakan sorban, hingga berambut panjang sebahu yang dicat pirang. Sementara itu, jemaah perempuan identik dengan pakaiaan yang sangat tertutup, hampir semua jemaah perempuan An-Nadzir yang bermukim di Gowa menggunakan cadar.

Penampilan An-Nadzir yang dianggap tidak biasa ini sempat membuat aliran ini sempat dianggap teroris. Namun, seiring berjalannya waktu, kelompok ini pun mulai diterima oleh masyarakat.

Keseharian Jemaah An-Nadzir
Pada awal kedatangannya, jemaah An-Nadzir membangun tempat tinggal berupa barak-barak yang ditinggali oleh 4-5 Kepala Keluarga (KK). Karena hal inilah, jemaah An-Nadzir sempat menui sorotan dan dianggap aneh.

Namun, setelah lahan yang dibebaskan semakin luas, perlahan para jemaah mulai membangun tempat tinggalnya secara mandiri.

Keseharian jemaah An-Nadzir sama dengan masyarakat pada umumnya. Pada siang hari, mereka lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, khususnya jemaah perempuan.

Jemaah An-Nadzir pada umumnya bekerja sebagai petani. Namuan, ada juga beberapa di antara mereka yang bekerja di berbagai bidang, ada yang menjadi pegawai, polisi, anggota LSM, wartawan, hingga tenaga kesehatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *